Pagi ini saya merasa begitu malas untuk berkegiatan. Termasuk pergi ke bengkel untuk menyervis Mustang, motor kesayangan saya. Saya putuskan untuk melakukannya esok pagi. Terbangun pukul dua pagi dan baru bisa tertidur kembali dua jam kemudian membuat saya ingin beristirahat lebih lama.
Di tengah kemalasan saya, terlintas beberapa peristiwa yang disambung oleh perkataan seorang teman kuliah saya. Pada saat itu teman saya, sebutlah namanya N, bercerita ketika ia dan dua orang teman satu jurusannya (kami beda jurusan, tapi mengambil mata kuliah umum yang sama) pergi ke sebuah mal. Perut bergejolak karena lapar, sehingga mereka memutuskan untuk makan di foodcourt yang terletak di lantai teratas. Dalam perjalanan menuju foodcourt, sejauh mata memandang, semua orang terlihat panik dan berlarian ke bawah menuju pintu keluar. Pada akhirnya, mereka bertiga tahu bahwa sempat terjadi gempa bumi selama kurang dari satu menit. Namun mereka tetap menuju foodcourt untuk mengisi perut dengan tenangnya.
"Emang, ya..piramida Maslow itu berlaku," demikian kesimpulan teman saya menutup ceritanya.
Urusan perut memang nomer satu.
Pada tahun 1943, Abraham Maslow mengemukakan penelitiannya tentang teori motivasi manusia (Motivation and Personality, 1954). Ia menempatkan bernapas, makanan, seks, tidur, bertahan hidup, dan buang hajat sebagai hal-hal paling dasar yang mendorong orang bertindak. Kalau kebutuhan dasar tersebut tidak terpenuhi, maka tubuh manusia akan bereaksi dan mengalami gangguan. Rasa aman adalah kebutuhan manusia di tingkat kedua. Begitu yang dasar terpenuhi, maka otomatis orang akan mencari kestabilan untuk memperoleh hal-hal dasar tersebut. Tingkat ketiga, manusia akan mencari pemenuhan cinta dan kasih sayang dari persahabatan, keluarga, dan keintiman seksual. Berbeda dari seks di tingkat pertama, seks di tingkat ketiga lebih mengutamakan hubungan emosi. Tingkat keempat, pencarian diteruskan pada penghargaan, penghormatan, dan kepercayaan diri. Pada puncaknya, manusia pun mencari aktualisasi diri yang menyangkut moralitas, kreatifitas, spontanitas, penyelesaian masalah, dan penerimaan.
Teori motivasi Maslow mendapat kritik dari para peneliti yang menyatakan bahwa teori ini tidak cocok untuk masyarakat dengan budaya kolektif. Budaya kolektif cenderung menempatkan kebebasan individu di puncak piramida, sementara budaya individualistis mencari aktualisasi diri di tengah keanekaragaman. Dari sisi seksualitas, budaya individu memilih seks untuk dipuaskan dulu sebelum memenuhi kebutuhan di atasnya, sedangkan budaya kolektif harus mempertimbangkan nilai-nilai keluarga, komunitas, dan emosional.
Terlepas dari kritik para ahli, piramida Maslow ini dapat dijadikan refleksi bagi kita yang bekerja. Ada di manakah kita? Apakah kita sedang sibuk memenuhi kebutuhan perut? Apakah kita tengah mencari kestabilan? Adakah dari kita sedang ingin dicintai? Penghargaankah yang tengah kita kejar? Atau...kita malah sedang berada di puncak aktualisasi diri, karena yang lain sudah terpenuhi?
Masalahnya, mungkin motivasinya benar namun cara-caranya yang bermasalah. Saya yang ingin dicintai, misalnya. Begitu ingin dicintainya saya oleh rekan-rekan kerja yang keren, sehingga tanpa sadar saya telah merendahkan kemampuan kerja teman-teman lain. Mungkin saya tengah mencari kestabilan posisi, maka saya akan berdiam diri saja pada keputusan yang secara prinsipil tidak dapat disetujui. Bisa saja motivasi saya sebenarnya ingin mengaktulisasi diri, tapi begitu bersemangatnya saya, sampai-sampai saya tidak ingin mengikutsertakan rekan-rekan dalam pengambilan keputusan.
Mari kita runut tindakan-tindakan kita di tempat kerja, lalu kita peras sari patinya dalam perenungan. Salah satu tingkat dari piramida Maslow itulah barangkali tempat kita berpijak saat ini.
No comments:
Post a Comment