Saturday, February 26, 2011

Dipo Alam, Imbauan Boikot, dan Pembelaannya

Sekretaris Kabinet Republik Indonesia Dipo Alam baru-baru ini mengeluarkan pernyataan, tepatnya imbauan, untuk memboikot dua media elektronik dan satu media cetak karena dinilai terlalu menyudutkan pemerintah. Pernyataannya yang dikutip dari salah satu media berbunyi, "Ada koran dan televisi yang setiap menit memberitakan soal keburukan, sampai gambarnya diulang-ulang setiap hari. Lalu, menyebut pemerintah gagal sehingga terjadi misleading di masyarakat. Boikot saja!" Boikot dilakukan dengan tidak memasang iklan di media-media tersebut. Ia juga menginstruksikan kepada para staf khusus presiden untuk tidak meladeni wawancara di kedua media elektronik tersebut dalam acara prime time karena hanya akan melariskan stasiun televisi itu.
Imbauannya tersebut dibalas dengan somasi, yang kemudian laporan ke polisi karena tidak digubris, oleh salah satu media elektronik dan sebuah media cetak. Reaksinya? Mengutip harian KOMPAS, dalam diskusi publik bertajuk "Bersama Boikot Pemerintah, Independensi Pers, dan Kepentingan Publik" di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Kamis (24/2/2011) siang, Dipo Alam menyampaikan, dia tidak perlu meminta maaf atas kritikinya terhadap media. Alasannya, dia melontarkan hal itu karena memegang teguh instruksi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atas pemberitaan media akhir-akhir ini bahwa media tidak menyampaikan informasi yang cukup. Lucunya, dalam harian Rakyat Merdeka (26/2/2011), kuasa hukumnya Amir Syamsuddin malah mengklaim punya cukup bukti bahwa penjelasan kliennya soal boikot media tidak persis seperti yang terekspos di media belakangan ini. "Tidak pernah terlontar dari mulut Dipo untuk memerintahkan boikot media secara resmi," bela Amir.
Dengan pembelaan apapun, Dipo Alam telah diketahui secara luas membuat pernyataan pribadi yang menyerukan pemboikotan media yang mengritik pemerintah dengan kapasitasnya sebagai pejabat publik. Meski tidak takut disomasi dan digugat, Dipo Alam lupa bahwa ia telah membuat pernyataan sepihak tanpa dasar hukum. Kata 'boikot' tidak didukung dengan poin-poin yang jelas yang menggarisbawahi mengapa harus diboikot. Apabila alasannya adalah karena media tersebut terus-menerus mengritik pemerintah, boikot merupakan jalan keluar terburuk yang pernah keluar dari mulut seorang pejabat publik secara pribadi. Sesungguhnya pemerintah berhak menglarifikasi pemberitaan apapun, apabila ditinjau terlalu menyudutkan. Klarifikasi pemerintah jauh lebih dihargai dan dihormati oleh setiap warga negaranya, ketimbang kata 'boikot' yang keluar secara tidak bertanggung jawab dari mulut pejabat pemerintah yang emosinya tidak stabil. Apalagi Dipo Alam adalah seorang sekretaris kabinet. Menghadapi setiap pemberitaan miring, seharusnya ia dapat memantau dan mengevaluasi yang sedang terjadi, lalu menyampaikannya kepada presiden, sehingga langkah selanjutnya akan jelas dan kongkrit dilaksanakan atas nama negara. Jika Dipo Alam berkilah bahwa ia tidak takut dengan gugatan media massa, maka justru titik lemahnya adalah ia telah semakin menorehkan preseden buruk terhadap pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (berarti Dipo Alam telah "menggali lubang" untuk dirinya sendiri) dengan melanggar Undang-undang Dasar 1945 yang menjamin kebebasan berpendapat. Bualannya tentang "berpegang teguh pada instruksi Presiden atas pemberitaan media akhir-akhir ini bahwa media tidak menyampaikan informasi yang cukup" hanya semakin membuatnya menjadi bahan tertawaan masyarakat, termasuk rekan-rekannya. Dipo hanya sendiri tanpa dukungan siapapun, tidak juga Presiden SBY.
Membaca sebuah artikel dalam harian Republika (26/2/2011), seorang pengajar Hukum Media Universitas Airlangga mengatakan bahwa, secara hukum maupun etika media, Dipo Alam tidaklah salah. Ia menyebutkan juga kalau dua media yang disebutkan Dipo telah berkali-kali melanggar etika media dan Undang-undang Penyiaran. Tidak disebutkan secara khusus bagian Undang-undang Penyiaran mana yang telah dilanggar kedua media tersebut. "Karena mereka juga pernah diperingatkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)," ungkap si pengajar. Ia menilai bahwa logis apabila Dipo Alam mengeluhkan pemberitaan kedua stasiun televisi yang disebutkannya.
Terus terang, saya agak bingung dengan pernyataan si pengajar. Si pengajar ini sepertinya tidak memahami yang sedang terjadi. Dipo Alam lebih dari sekedar mengeluh. Ia tidak juga mengeluarkan pernyataan resmi atas nama pemerintah. Secara pribadi, dia seenaknya memerintahkan 'boikot' dengan kapasitasnya sebagai pejabat publik. Tidak ada hal-hal yang harus digarisbawahi untuk diperhatikan media-media massa tersebut. Sangat sembarangan. Kritik media terhadap pemerintah, lalu pemerintah ditempatkan sebagai korban, merupakan sikap yang kekanak-kanakan. Sekali lagi, klarifikasi pemerintah secara objektif dengan fakta-fakta pendukung yang kuat terhadap pemberitaan miring sungguh sangat dibutuhkan.
Kemudian, si pengajar melanjutkan, bahwa imbauan boikot di masyarakat demokrasi itu biasa. "Jadi jangan berlebihan, seakan boikot itu adalah arogansi atau membahayakan kebebasan pers," tegasnya. Ia memberikan contoh sebuah stasiun televisi di Inggris yang ditutup pada tahun 1999 menyangkut pemberitaan Abdullah Ochalan dari Turki. Stasiun televisi yang dimaksud adalah MED-TV, sebuah stasiun televisi internasional Kurdi yang salah satu studionya berkedudukan di London, Inggris. Ijin penyiaran MED-TV dicabut oleh Independent Television Commission (ITC) karena salah satu tayangannya yang mengandung "imbauan melakukan tindak kekerasan di Turki dan di manapun". Komisi penyiaran independen Inggris menegaskan bahwa ruang publik Inggris tidak sepatutnya digunakan oleh stasiun manapun yang mengundang masyarakat melakukan tindak kekerasan. Meski penutupan tersebut berbuntut kecurigaan terhadap ketua ITC yang memiliki saham di dua perusahaan berpengaruh di Turki, namun jelas kalau pencabutan ijin siaran MED-TV memang demi melindungi kepentingan masyarakat luas, BUKAN karena kritisi terhadap pemerintah. 
Boikotnya Dipo Alam sampai saat ini sebenarnya masih dalam batas tidak membahayakan kebebasan pers. Ia masih berbicara atas namanya sendiri, tanpa dukungan pemerintah maupun hukum di belakangnya. Para rekan jurnalis tidak perlu terlalu emosi dengan pernyataannya. Namun Dipo tetap layak disomasi bahkan digugat. Dia telah mencemari nama baik dua pihak: media massa dan, secara tidak langsung, pemerintah.
Jadi, Dipo Alam...Anda sekarang sendirian. Masihkah beranikah Anda mencatut nama Presiden SBY?






Saturday, October 23, 2010

Tentang Piramida Maslow

Pagi ini saya merasa begitu malas untuk berkegiatan. Termasuk pergi ke bengkel untuk menyervis Mustang, motor kesayangan saya. Saya putuskan untuk melakukannya esok pagi. Terbangun pukul dua pagi dan baru bisa tertidur kembali dua jam kemudian membuat saya ingin beristirahat lebih lama.
Di tengah kemalasan saya, terlintas beberapa peristiwa yang disambung oleh perkataan seorang teman kuliah saya. Pada saat itu teman saya, sebutlah namanya N, bercerita ketika ia dan dua orang teman satu jurusannya (kami beda jurusan, tapi mengambil mata kuliah umum yang sama) pergi ke sebuah mal. Perut bergejolak karena lapar, sehingga mereka memutuskan untuk makan di foodcourt yang terletak di lantai teratas. Dalam perjalanan menuju foodcourt, sejauh mata memandang, semua orang terlihat panik dan berlarian ke bawah menuju pintu keluar. Pada akhirnya, mereka bertiga tahu bahwa sempat terjadi gempa bumi selama kurang dari satu menit. Namun mereka tetap menuju foodcourt untuk mengisi perut dengan tenangnya.
"Emang, ya..piramida Maslow itu berlaku," demikian kesimpulan teman saya menutup ceritanya.
Urusan perut memang nomer satu.
Pada tahun 1943, Abraham Maslow mengemukakan penelitiannya tentang teori motivasi manusia (Motivation and Personality, 1954). Ia menempatkan bernapas, makanan, seks, tidur, bertahan hidup, dan buang hajat sebagai hal-hal paling dasar yang mendorong orang bertindak. Kalau kebutuhan dasar tersebut tidak terpenuhi, maka tubuh manusia akan bereaksi dan mengalami gangguan. Rasa aman adalah kebutuhan manusia di tingkat kedua. Begitu yang dasar terpenuhi, maka otomatis orang akan mencari kestabilan untuk memperoleh hal-hal dasar tersebut. Tingkat ketiga, manusia akan mencari pemenuhan cinta dan kasih sayang dari persahabatan, keluarga, dan keintiman seksual. Berbeda dari seks di tingkat pertama, seks di tingkat ketiga lebih mengutamakan hubungan emosi. Tingkat keempat, pencarian diteruskan pada penghargaan, penghormatan, dan kepercayaan diri. Pada puncaknya, manusia pun mencari aktualisasi diri yang menyangkut moralitas, kreatifitas, spontanitas, penyelesaian masalah, dan penerimaan.
Teori motivasi Maslow mendapat kritik dari para peneliti yang menyatakan bahwa teori ini tidak cocok untuk masyarakat dengan budaya kolektif. Budaya kolektif cenderung menempatkan kebebasan individu di puncak piramida, sementara budaya individualistis mencari aktualisasi diri di tengah keanekaragaman. Dari sisi seksualitas, budaya individu memilih seks untuk dipuaskan dulu sebelum memenuhi kebutuhan di atasnya, sedangkan budaya kolektif harus mempertimbangkan nilai-nilai keluarga, komunitas, dan emosional.
Terlepas dari kritik para ahli, piramida Maslow ini dapat dijadikan refleksi bagi kita yang bekerja. Ada di manakah kita? Apakah kita sedang sibuk memenuhi kebutuhan perut? Apakah kita tengah mencari kestabilan? Adakah dari kita sedang ingin dicintai? Penghargaankah yang tengah kita kejar? Atau...kita malah sedang berada di puncak aktualisasi diri, karena yang lain sudah terpenuhi? 
Masalahnya, mungkin motivasinya benar namun cara-caranya yang bermasalah. Saya yang ingin dicintai, misalnya. Begitu ingin dicintainya saya oleh rekan-rekan kerja yang keren, sehingga tanpa sadar saya telah merendahkan kemampuan kerja teman-teman lain. Mungkin saya tengah mencari kestabilan posisi, maka saya akan berdiam diri saja pada keputusan yang secara prinsipil tidak dapat disetujui. Bisa saja motivasi saya sebenarnya ingin mengaktulisasi diri, tapi begitu bersemangatnya saya, sampai-sampai saya tidak ingin mengikutsertakan rekan-rekan dalam pengambilan keputusan.
Mari kita runut tindakan-tindakan kita di tempat kerja, lalu kita peras sari patinya dalam perenungan. Salah satu tingkat dari piramida Maslow itulah barangkali tempat kita berpijak saat ini.




Mahasiswa dan Demo di Indonesia

Setahun masa pemerintahan Presiden SBY-Wapres Budiono sudah dibayang-bayangi demonstrasi mahasiswa. Demonstrasi ini dilakukan atas nama ketidakpuasan terhadap kinerja duet tersebut selama satu tahun ini. Tanggapan yang diberikan pun beragam. Di surat-surat kabar, kita bisa melihat komentar pembaca. Ada yang mendukung gerakan mahasiswa tersebut, ada yang mencibir, ada pula yang menengahi (yang sok bijak juga banyak!). Yang jelas, ramainya masyrakat melempar respon adalah pertanda demo mahasiswa masih memiliki impact yang signifikan terhadap perkembangan demokrasi di Indonesia.
Kata 'demonstrasi' (demo) atau demonstration telah digunakan sejak pertengahan abad ke-19, menggantikan monster meeting yang sama-sama merujuk pada kumpulan besar orang yang mengajukan protes. Demo merupakan sebuah usaha proaktif untuk menunjukkan sikap (makanya jangan asal mengomentari demo sebagai 'omdo' alias 'omong doang'). Demo juga dapat dikategorikan sebagai usaha intervensi. Aktifitas ini umumnya digunakan untuk menyatakan sudut pandang kolektif secara positif maupun negatif mengenai isu-isu politik, ekonomi, dan sosial.
Demonstrasi punya beberapa bentuk. Di antaranya:
  1. March, sekumpulan orang berjalan dari satu titik ke titik lain
  2. Rallies, saat orang berkumpul untuk mendengarkan orasi atau orasi musik
  3. Picketing, orang berkumpul "mengepung" satu tempat
  4. Sit-ins, atau pendudukan dalam jangka waktu tertentu
Mengapa saya harus menuliskan bentuk-bentuk demonstrasi, karena mahasiswa perlu memanfaatkan variasi demo untuk menggolkan tujuannya. Niat baik dan semangat membaja , tapi jika strategi memble, "lawan" Anda akan memandang sebelah mata. Penting dilakukan ketika berdemontrasi adalah mengatur strategi. Dari pengamatan saya, demo-demo mahasiswa di Indonesia belumlah diatur dengan strategi yang matang, sehingga kekuatannya tidaklah besar. Padahal, apabila dimengerti, sebuah demonstrasi dapat berlangsung efektif dan memberi impact tanpa mengeluarkan jurus-jurus anarkis. Belum tentu suatu yang anarkis itu bisa membuka peluang berhasilnya sebuah demo. Yang ada malah jatuh korban sia-sia.
Sebuah poin lagi yang patut dipikirkan mahasiswa adalah pendidikan demokrasi. Yang dimaksud dengan pendidikan demokrasi di sini adalah bahwa yang diperjuangkan adalah rakyat, bukan cuma atas nama mahasiswa. Berarti, mahasiswa bertanggung jawab mendidik rakyat berdemokrasi dengan benar dan bersih. Mengonsep demonstrasi jauh-jauh hari agar masyarakat semakin bersimpati dan memberikan dukungannya. Catat hal-hal yang didukung, bukan sekedar kritisi. Hal-hal yang diperjuangkan untuk rakyat perlu disosialisasikan dengan gencar, dengan solusi yang nyata, daripada hanya melontarkan kritik dan menyuruh turun. Dengan demikian kita bisa meraih simpati serta dukungan dari rakyat. Masa' mahasiswa kalah dengan calon legislatif atau kepala daerah yang mengumbar janji-janji? Bukannya saya ingin mahasiswa mengumbar janji, lho..tapi kita tetap berpegang bahwa perjuangan ini untuk rakyat. Kalau rakyatnya tidak tahu, yang terjadi malah demo menuai hujatan dan keluhan lebih banyak daripada suport. Oleh sebab itu, usunglah tema yang dekat dengan rakyat sejalan dengan kritik yang dilontarkan. Keduanya harus seimbang. Rakyat butuh tahu mengapa demo ini penting untuk mereka.
Dari demonstrasi mahasiswa, saya merindukan follow-up. Memang sih...kalau mahasiswa konsen demo terus, belajarnya kapan? Tapi bila ingin benar-benar suaranya HARUS didengar menembus gedung parlemen (saya yakin Anda tidak mau berakhir jadi tukang teriak yang dimaki-maki karena menyebabkan macet), yang berartiiii...mahasiswa memang berjuang demi rakyat, saatnya memikirkan follow-up yang serius. Apa tindak lanjutnya? Publikasi? Dialog? Petisi? Perumusan tuntutan? Koordinasi? National assembly? Mari belajar dari Revolusi Perancis yang sukses karena kaum intelektual dan rakyat berkoordinasi. Belajar pula dari  pergerakan-pergerakan mahasiswa Indonesia sepanjang sejarah bangsa kita. Rakyat jangan sampai dibiarkan meliar begitu tapi buru-buru diadvokasi. Saya pikir, ini juga saatnya mahasiswa bergerak mengadvokasi ketidakpuasan masyarakat daripada terjadi kerusuhan. Daripada ditunggangi pihak yang tidak-tidak. Butuh waktu, tapi matang.
Bisa?
Bisa lah!





Friday, October 8, 2010

Piramida Maslow dan Negara Kita

Pada artikel sebelumnya dijelaskan bahwa Abraham Maslow, seorang psikolog berkebangsaan Amerika, mengemukakan teori motivasi yang diilustrasikan dalam bentuk piramida. Jika sebuah teori digambarkan dalam bentuk piramida, berarti bidang terbawah akan mendasari tingkat-tingkat selanjutnya. Kebutuhan terdasar adalah bernapas, makanan, air, seks, tidur, bertahan hidup, dan buang hajat. Kebutuhan akan rasa aman menempati tingkat kedua. Tingkat ketiga ditempati kebutuhan akan kasih sayang. Pada tingkat keempat, ada kebutuhan untuk dihargai. Maslow menempatkan aktualisasi diri di puncak piramidanya. Semua kebutuhan tersebut yang menurut penelitian sang psikolog mendorong manusia melakukan tindakan tertentu.
Saya jadi teringat pada negara-negara yang masih berjuang untuk menafkahi penduduknya. Sampai detik ini, masih sulit bagi penduduk negeri tersebut untuk bisa memenuhi kebutuhan perutnya. Saya tidak bicara 'berusaha', tapi BERJUANG. Berjuang artinya mengeluarkan energi, pikiran, banting tulang. Melibatkan emosi. Dampaknya adalah kelelahan emosi yang sangat, pikiran terkuras sampai kehilangan logika, sehingga yang jalan adalah naluri. Ketika naluri tidak ditopang dengan pikiran waras dan emosi yang terkendali, maka...segala hal bisa terjadi. Kriminalitas, kekerasan rumah tangga, hingga penyakit jiwa.
Adalah berbahaya bagi negara jika belum sanggup memberi makan penduduknya. Kejadian saling tikam di tengah masyarakat, harafiah ataupun secara kiasan, tidak dapat terhindarkan. Penyebabnya adalah naluri yang berjalan liar tanpa didukung kewarasan emosi dan pikiran. Begitu liarnya, sampai-sampai manusia berubah menjadi binatang bagi yang lain. Tidak memandang pendidikan maupun golongan. Saya punya seekor kucing yang telah dididik sedari kecil untuk bersikap "rumahan". Makan teratur, tidur teratur, bisa berkomunikasi dengan baik, dan buang air di toilet. Namun, jika sudah kelaparan setengah mati, ia tak ragu naik meja untuk mengambil apapun untuk dimakan. Demikian gambarannya manusia yang sudah sedemikan laparnya, perut akan menutup akal sehat, sementara negara belum mampu memberi makan teratur setiap hari.
Di negara ini, pemerintah belum mampu memberi makan seluruh penduduknya, tapi nekat menggunakan Rp1,168 trilyun demi membangun gedung DPR dengan super fasilitas. OK, sah-sah saja merenovasi gedung DPR daripada rubuh. Tapi itu berarti pemerintah terus tutup mata terhadap malnutrisi kolektif yang memicu semakin maraknya penyakit sosial di tengah masyarakat. Dengan apakah itu akan dikendalikan? Anda tidak bisa terus melontarkan slogan, Bung! Jika perut sudah menutup akal sehat, yang harus diberi makan adalah perut, bukan telinga. Percuma saja memberikan pidato-pidato idealis. Beri makan rakyat! Rakyat yang telah (di)lupa(kan) untuk diberi makan akan bertindak sesuai tuntutan perutnya.


Tentang Mereka Yang Sudah Di Tingkat Atas 

Orang-orang yang duduk di pemerintahan dan kursi wakil rakyat bisa jadi orang-orang yang telah mencapai tingkat kedua sampai kelima pemenuhan kebutuhan manusia. Motivasi mereka dapat ditebak dari tindak tanduknya.
1.    Mencari kestabilan
  • Mengatakan 'ya' pada semua pendapat, meskipun tidak setuju. Kalaupun ia mengutarakan sesuatu, pendapatnya cenderung mengamankan posisinya.
  • Rentan untuk melakukan korupsi kecil-kecilan dan pungutan liar. Comot sana-sini, sabet sana-sini, yang penting tidak ketahuan.
  • Banyak dari antara mereka yang rajin, lho
  • Banyak juga yang bekerja sesuai aturan dan standar yang berlaku. Mereka 'bersih'. Prinsipnya: "yang penting halal".
2.   Kebutuhan akan kasih sayang
  • Senang bergaul dan punya kumpulan sendiri (kalau tidak mau dibilang 'ngegang, karena merasa ketuaan untuk hal tersebut).
  • Sering ikut-ikutan teman. Kalau teman punya Blackberry, langsung beli. Trendnya Mercedes-Benz, bela-belain punya. Kadang perlu juga, tapi kalau kelewatan, artinya tidak punya identitas.
  • Menabur simpati agar disayang teman. Sebenarnya bagus, namun banyak di antara mereka yang jadi dimanfaatkan atau malah bermuka dua.
  • Orang yang berada dalam tahap ini terkadang tidak terlalu peduli dengan posisi dan lebih ingin menikmati hidupnya saja.
3.   Kebutuhan untuk dihargai
  • Pada level ini, orang bisa saja menjadi kreatif dan idealis.
  • Pekerja keras dan seorang pengabdi.
  • Bereaksi terhadap kritik.
  • Sulit menerima penolakan.
4.   Kebutuhan aktualisasi diri
  • Berani mengekspresikan diri dan pendapatnya
  • Siap dengan konsekuensi yang akan dihadapinya
  • Menurut dia, hal-hal yang dilakukannya punya alasan tersendiri dan cenderung filosofis.
  • Sering tidak peduli dengan pendapat orang lain.
  • Mottonya: "either you are with me or against me".
Makin menuju puncak piramida, semakin sulit terlihat sisi negatifnya karena lebih mengarah pada hal-hal yang bersifat kehalusan budi. Orang-orang yang bisa mengritik sisi-sisi itu adalah mereka yang berbudi halus pula dikarenakan orang-orang seperti melatih intuisinya dengan kepekaan terhadap filsafat dan moral, didukung pengetahuan tertentu.
Oleh sebab itu, bukalah mata fisik, pikiran, dan hati kita lebar-lebar terhadap beragam isu yang sedang diperbincangkan di tengah masyarakat. Mulailah mengritisi dan bertindak SEKARANG!