Sekretaris Kabinet Republik Indonesia Dipo Alam baru-baru ini mengeluarkan pernyataan, tepatnya imbauan, untuk memboikot dua media elektronik dan satu media cetak karena dinilai terlalu menyudutkan pemerintah. Pernyataannya yang dikutip dari salah satu media berbunyi, "Ada koran dan televisi yang setiap menit memberitakan soal keburukan, sampai gambarnya diulang-ulang setiap hari. Lalu, menyebut pemerintah gagal sehingga terjadi misleading di masyarakat. Boikot saja!" Boikot dilakukan dengan tidak memasang iklan di media-media tersebut. Ia juga menginstruksikan kepada para staf khusus presiden untuk tidak meladeni wawancara di kedua media elektronik tersebut dalam acara prime time karena hanya akan melariskan stasiun televisi itu.
Imbauannya tersebut dibalas dengan somasi, yang kemudian laporan ke polisi karena tidak digubris, oleh salah satu media elektronik dan sebuah media cetak. Reaksinya? Mengutip harian KOMPAS, dalam diskusi publik bertajuk "Bersama Boikot Pemerintah, Independensi Pers, dan Kepentingan Publik" di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Kamis (24/2/2011) siang, Dipo Alam menyampaikan, dia tidak perlu meminta maaf atas kritikinya terhadap media. Alasannya, dia melontarkan hal itu karena memegang teguh instruksi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atas pemberitaan media akhir-akhir ini bahwa media tidak menyampaikan informasi yang cukup. Lucunya, dalam harian Rakyat Merdeka (26/2/2011), kuasa hukumnya Amir Syamsuddin malah mengklaim punya cukup bukti bahwa penjelasan kliennya soal boikot media tidak persis seperti yang terekspos di media belakangan ini. "Tidak pernah terlontar dari mulut Dipo untuk memerintahkan boikot media secara resmi," bela Amir.
Dengan pembelaan apapun, Dipo Alam telah diketahui secara luas membuat pernyataan pribadi yang menyerukan pemboikotan media yang mengritik pemerintah dengan kapasitasnya sebagai pejabat publik. Meski tidak takut disomasi dan digugat, Dipo Alam lupa bahwa ia telah membuat pernyataan sepihak tanpa dasar hukum. Kata 'boikot' tidak didukung dengan poin-poin yang jelas yang menggarisbawahi mengapa harus diboikot. Apabila alasannya adalah karena media tersebut terus-menerus mengritik pemerintah, boikot merupakan jalan keluar terburuk yang pernah keluar dari mulut seorang pejabat publik secara pribadi. Sesungguhnya pemerintah berhak menglarifikasi pemberitaan apapun, apabila ditinjau terlalu menyudutkan. Klarifikasi pemerintah jauh lebih dihargai dan dihormati oleh setiap warga negaranya, ketimbang kata 'boikot' yang keluar secara tidak bertanggung jawab dari mulut pejabat pemerintah yang emosinya tidak stabil. Apalagi Dipo Alam adalah seorang sekretaris kabinet. Menghadapi setiap pemberitaan miring, seharusnya ia dapat memantau dan mengevaluasi yang sedang terjadi, lalu menyampaikannya kepada presiden, sehingga langkah selanjutnya akan jelas dan kongkrit dilaksanakan atas nama negara. Jika Dipo Alam berkilah bahwa ia tidak takut dengan gugatan media massa, maka justru titik lemahnya adalah ia telah semakin menorehkan preseden buruk terhadap pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (berarti Dipo Alam telah "menggali lubang" untuk dirinya sendiri) dengan melanggar Undang-undang Dasar 1945 yang menjamin kebebasan berpendapat. Bualannya tentang "berpegang teguh pada instruksi Presiden atas pemberitaan media akhir-akhir ini bahwa media tidak menyampaikan informasi yang cukup" hanya semakin membuatnya menjadi bahan tertawaan masyarakat, termasuk rekan-rekannya. Dipo hanya sendiri tanpa dukungan siapapun, tidak juga Presiden SBY.
Membaca sebuah artikel dalam harian Republika (26/2/2011), seorang pengajar Hukum Media Universitas Airlangga mengatakan bahwa, secara hukum maupun etika media, Dipo Alam tidaklah salah. Ia menyebutkan juga kalau dua media yang disebutkan Dipo telah berkali-kali melanggar etika media dan Undang-undang Penyiaran. Tidak disebutkan secara khusus bagian Undang-undang Penyiaran mana yang telah dilanggar kedua media tersebut. "Karena mereka juga pernah diperingatkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)," ungkap si pengajar. Ia menilai bahwa logis apabila Dipo Alam mengeluhkan pemberitaan kedua stasiun televisi yang disebutkannya.
Terus terang, saya agak bingung dengan pernyataan si pengajar. Si pengajar ini sepertinya tidak memahami yang sedang terjadi. Dipo Alam lebih dari sekedar mengeluh. Ia tidak juga mengeluarkan pernyataan resmi atas nama pemerintah. Secara pribadi, dia seenaknya memerintahkan 'boikot' dengan kapasitasnya sebagai pejabat publik. Tidak ada hal-hal yang harus digarisbawahi untuk diperhatikan media-media massa tersebut. Sangat sembarangan. Kritik media terhadap pemerintah, lalu pemerintah ditempatkan sebagai korban, merupakan sikap yang kekanak-kanakan. Sekali lagi, klarifikasi pemerintah secara objektif dengan fakta-fakta pendukung yang kuat terhadap pemberitaan miring sungguh sangat dibutuhkan.
Kemudian, si pengajar melanjutkan, bahwa imbauan boikot di masyarakat demokrasi itu biasa. "Jadi jangan berlebihan, seakan boikot itu adalah arogansi atau membahayakan kebebasan pers," tegasnya. Ia memberikan contoh sebuah stasiun televisi di Inggris yang ditutup pada tahun 1999 menyangkut pemberitaan Abdullah Ochalan dari Turki. Stasiun televisi yang dimaksud adalah MED-TV, sebuah stasiun televisi internasional Kurdi yang salah satu studionya berkedudukan di London, Inggris. Ijin penyiaran MED-TV dicabut oleh Independent Television Commission (ITC) karena salah satu tayangannya yang mengandung "imbauan melakukan tindak kekerasan di Turki dan di manapun". Komisi penyiaran independen Inggris menegaskan bahwa ruang publik Inggris tidak sepatutnya digunakan oleh stasiun manapun yang mengundang masyarakat melakukan tindak kekerasan. Meski penutupan tersebut berbuntut kecurigaan terhadap ketua ITC yang memiliki saham di dua perusahaan berpengaruh di Turki, namun jelas kalau pencabutan ijin siaran MED-TV memang demi melindungi kepentingan masyarakat luas, BUKAN karena kritisi terhadap pemerintah.
Boikotnya Dipo Alam sampai saat ini sebenarnya masih dalam batas tidak membahayakan kebebasan pers. Ia masih berbicara atas namanya sendiri, tanpa dukungan pemerintah maupun hukum di belakangnya. Para rekan jurnalis tidak perlu terlalu emosi dengan pernyataannya. Namun Dipo tetap layak disomasi bahkan digugat. Dia telah mencemari nama baik dua pihak: media massa dan, secara tidak langsung, pemerintah.
Jadi, Dipo Alam...Anda sekarang sendirian. Masihkah beranikah Anda mencatut nama Presiden SBY?